Calling today’s undergraduates privileged or spoiled is similarly reductionistic. Certainly, economic diversity remains a persistent problem in American higher education. But one can find numerous examples of students who, despite growing up in poverty and navigating tragically under-resourced schools, persevere to become the first in their family to attend college. These remarkable individuals are among the most likely to pursue careers in social work, community organizing, or public health with plans to return home and give back to their communities.But they do not want to become teachers.
But finding candidates to fill this role, especially good candidates, may be more difficult than policymakers are willing to admit. Despite their clear interest in public service, the students I meet betray little enthusiasm for teaching as it now exists. And I see even less indication that major trends in public education—standardization, the proliferation of testing, the elimination of tenure and seniority, and expansion of school choice—have made teaching any more attractive as a career option. Prospective teachers, much like the young educators already working in schools, are especially skeptical of accountability measures that tie a teacher’s job security or pay grade to student test scores. And many are bothered by the way teachers are blamed for much broader social problems.
Ringkasan:
Dengan perkembangan zaman, para pekerja academia mau tidak mau harus bisa adjust dengan perubahan uang terjadi di dunia academia terutama dalam bidang riset dan juga mengajar. Berkembangnya dunia digital membuat akses terhadap karya ilmiah serta bahan ajar menjadi lebih terjangkau. Saat ini para pengajar dan pelaku riset juga memanfaatkan media sosial tersebut, termasuk juga Twitter. Twitter adalah suatu platform yang dapat digunakan untuk bertukar informasi dan berkomunikasi langsung dengan para pengikut. Tak jarang banyak konten akademik yang dibahas secara mendalam dan intens melalui Twitter ini.
Namun di samping kemudahan untuk mempublish artikel akademik , salah satu tantangan yaitu bagaimana bisa terus mempertahankan komunikasi dan engage dengan pengikut. Salah satu poin penting yang perlu diingat juga bahwa membuat konten akademik online tidak menjamin kan dibaca oleh orang lain. Maka dari itu perlu dilakukan proses “engagement” tersebut.
Tambahan Pemikiran:
Kita tidak bisa menutup mata dengan berkembangnya media sosial di era saat ini. Di satu sisi media sosial memang sangat membantu terkait dengan akses, menjadikan karya tulis atau artikel dapat dengan mudah di bagikan kepada masyarakat umum. Namun disatu sisi memang yang sering terlupakan adalah mengenai hal “engagement”. Dengan adanya kemudahan tersebut, semua orang dapat membagikan karya tulis ataupun memulai suatu diskusi online. Namun, masing-masing individu harus pintar dalam membagikan dan juga tetap berinteraksi dengan pengikutnya.Tentunya tautan atau tulisan yang kita bagikan ingin dibaca juga oleh orang lain. Selain itu, kita juga harus pintar mencari feedback dari orang lain yang membaca. Mungkin tidak secara langsung dengan menanyakan “apakah ada feedback? Namun dengan adanya komunikasi dan engagement yang aktif, kita bisa banyak mendapatkan informasi dari pengikut kita.